Breaking News
Beranda » Oase » Jokowi, Prabowo dan Skenario Gus Dur: Kisah yang Hidup di Masyarakat

Jokowi, Prabowo dan Skenario Gus Dur: Kisah yang Hidup di Masyarakat

  • account_circle Ival
  • calendar_month Ming, 29 Jun 2025
  • visibility 444

Politik Indonesia kerap ibarat panggung wayang: para tokoh tampak bergerak bebas, namun ada tangan-tangan halus yang menggerakkan mereka. Tak semua dalang tampak, tak semua cerita bisa dibaca langsung. Namun, jejak-jejak itu tersisa. Di antara dalang besar itu, nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak pernah lenyap dari ingatan.

Almarhum (alm) Presiden ke-4 RI ini bukan sekadar negarawan, tapi penutur tanda-tanda zaman. Kata-kata Gus Dur yang dulu dianggap celetukan, hari ini terasa bagai skenario politik yang dijalani bangsa.

Kini, dua sosok ada di puncak kuasa: Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Keduanya seolah menapaki jalan yang dulu dibisikkan Gus Dur — jalan yang penuh isyarat, dan kini menjadi kenyataan.

Loji Gandrung: Awal Njejeg Nusantara

Pada 8 Januari 2006, Gus Dur datang ke Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo. Jokowi, yang baru lima bulan menjabat, menjamu sang guru bangsa dalam acara Njejegake Sakaguru Nusantara. Tak banyak yang mengira, pertemuan sederhana itu menyimpan isyarat besar. Di hadapan undangan, Gus Dur melontarkan kata-kata yang kini dianggap ramalan:

“Siapapun yang dikehendaki rakyat, termasuk Pak Jokowi ini, kalau dia jadi wali kota yang bagus, kelak juga bisa jadi presiden.”[^1][^2]

Saat itu, Jokowi hanyalah wali kota kota kecil. Tapi Gus Dur seolah sudah melihat jalan yang akan ditempuh. Delapan tahun kemudian, Jokowi dilantik sebagai Presiden RI — pemimpin pertama dari luar elite politik-militer Jakarta.

Prabowo: Dari Luka Sejarah Menuju Puncak Kuasa

Jika Jokowi naik dari rakyat jelata, Prabowo menempuh jalan luka sejarah. Lengser Orde Baru membuatnya tersingkir dari militer. Dalam keterasingan, Prabowo justru mendekat ke Gus Dur.

“Saya sering dipanggil Gus Dur saat beliau presiden. Waktu saya sulit, beliau kasih nasihat… beliau punya pandangan yang jauh ke depan.”[^3]

Hubungan ini bukan basa-basi. Prabowo bahkan menjadi “tukang pijat” Gus Dur.

“Saya dulu tukang pijatnya Gus Dur… beliau izinkan saya masuk ke kamar tidurnya.”[^4]

Di pengasingannya di Yordania, Prabowo meminta nasihat: apakah sebaiknya pulang ke Indonesia? Gus Dur menjawab:

“Kita patut memperlakukannya sebagai manusia biasa.”[^5]

Dan satu kalimat lagi, yang viral pada masa kampanye Pilpres dan terus diputar para pendukung Prabowo:

“Kalau orang yang paling ikhlas kepada rakyat Indonesia itu Prabowo… banyak lah yang menunjukkan betapa dia ikhlas betul kepada rakyat.”[^6]

Pernyataan ini bergaung kuat sebagai legitimasi moral. Gus Dur menilai Prabowo sebagai sosok dengan keikhlasan hati — sebuah nilai langka dalam gelanggang politik. Bagi banyak kalangan pesantren, ini jadi pegangan. Gus Miftah, KH Fathul Bari, hingga Bamsoet mengutip kalimat ini sebagai tanda “restu moral” Gus Dur pada Prabowo.

Kini, ucapan itu terasa menjadi kenyataan. Prabowo, di usia yang disebut “tua” dalam politik, dilantik sebagai Presiden RI setelah berjuang di dua Pilpres sebelumnya.

Megawati, Amien Rais, dan Luka Gus Dur

Jika kita tarik garis sejarah lebih dalam, hubungan antara Jokowi dan Megawati juga punya dimensi tersendiri. Jokowi memang naik ke panggung nasional melalui PDI Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Namun sejarah mencatat, Megawati adalah bagian dari kekuatan yang dulu menjatuhkan Gus Dur.

Gus Dur secara terbuka menyebut bahwa Megawati dan Amien Rais adalah dua tokoh yang bertanggung jawab atas pelengserannya pada 2001. Dalam wawancara dan buku biografi, Gus Dur pernah berkata:

“Megawati dan Amien Rais adalah pengkhianat reformasi. Mereka yang menggulingkan saya karena mereka bersekongkol dengan kekuatan lama.” (Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography, 2002; Tempo, 2002)[^1]

Tak hanya itu, Gus Dur juga menyindir Amien Rais dengan kalimat yang kemudian diingat banyak orang:

“Saya tidak khawatir dengan Amien Rais. Dia itu, nanti juga akan jadi gelandangan politik.” (Tempo, 2004; Kompas, 2004)[^2]

Dan benar, setelah kegagalannya di Pilpres 2004, Amien Rais kehilangan pengaruh politik nasional. PAN terpecah, dan Amien tak lagi menjadi aktor utama dalam panggung besar politik Indonesia.

Jokowi dan Balas Budi Sejarah

Sejarah memang seperti berputar. Jokowi yang dulu disebut hanya sebagai “petugas partai” PDI Perjuangan, justru tumbuh menjadi presiden yang mampu mengambil keputusan sendiri, bahkan sering tak sejalan dengan arahan partai.

Banyak yang menilai bahwa sikap Jokowi yang tak tunduk penuh pada Megawati adalah bentuk balas budi halus atas luka sejarah yang dialami Gus Dur. Bahwa melalui Jokowi, sejarah menuntaskan sebuah hutang: menghadirkan pemimpin yang tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan yang pernah menyingkirkan Gus Dur.

Tak sedikit pula yang membaca, bahwa hubungan Jokowi dan Megawati kini jauh lebih dingin. Megawati disebut merasa “sakit hati” atas sikap Jokowi yang mulai mandiri, bahkan membangun kekuatan politik sendiri.

Nusantara: Simbol Janji Tua yang Bangkit

Di tengah skenario ini, istilah Nusantara kembali menggema. Bukan hanya dalam proyek Ibu Kota Negara baru, tetapi juga dalam berbagai simbol lain: Santri Nusantara, Islam Nusantara, dan di era Presiden Prabowo Subianto ini ada  Danantara atau Daya Agananta Nusantara. 

Di mulai dari 2006 dengan acara Njejegake Sakaguru Nusantara, Nusantara bukan sekadar nama geografis, melainkan simbol dari janji lama yang dipercaya banyak orang masih tersimpan di balik sejarah: perjanjian-perjanjian tua, kolateral dunia, atau harta amanah bangsa yang konon menjadi bagian dari sistem keuangan global.

Sebagian percaya, istilah Nusantara yang kembali diangkat adalah sinyal bahwa bangsa ini sedang menyusuri kembali jejak sejarah yang terpendam. Bahwa ada janji-janji lama yang pelan-pelan akan dimunculkan ke permukaan.

Nusantara dan Jejaknya di Panggung Global: Kode-Kode yang Mulai Terbaca

Kebangkitan kata Nusantara di era Jokowi bukan hanya tentang simbol budaya atau pembangunan ibu kota baru. Jika kita melihat lebih dalam, Nusantara juga mulai hadir dalam jejak diplomasi dan positioning Indonesia di panggung internasional. Ini bukan sekadar retorika, tapi sudah menjelma dalam langkah-langkah strategis bangsa.

Salah satu tonggak penting adalah masuknya Indonesia sebagai anggota penuh Financial Action Task Force (FATF) pada 2023. Bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi global ini bukan sekadar pengakuan atas upaya pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Lebih dari itu, ini menjadi pesan kepada dunia bahwa Indonesia (Nusantara) siap menjadi pemain penting dalam tatanan ekonomi global yang bersih, transparan, dan akuntabel. Di balik ini, ada sinyal bahwa Indonesia ingin mengamankan dan memvalidasi aset-asetnya, termasuk apa yang secara historis disebut sebagai kolateral Nusantara dalam cerita lama perjanjian-perjanjian global.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah pembentukan Danantara, lembaga keuangan baru yang dikaitkan dengan upaya optimalisasi aset negara, termasuk aset-aset eks-BLBI yang selama ini menjadi polemik. Nama Danantara sendiri mengandung makna “Daya Anaganta Nusantara” — seolah menjadi langkah formal mengonsolidasikan apa yang selama ini hanya terdengar sebagai kasak-kusuk: bahwa Nusantara menyimpan aset besar yang belum sepenuhnya termanfaatkan demi kepentingan bangsa.

Kebijakan ini seolah menyambung benang merah bahwa Nusantara bukan hanya simbol masa lalu, tapi sebuah entitas yang kini sedang dikembalikan ke peta dunia. Seperti pesan yang tersirat dari Gus Dur: Indonesia bukan sekadar bangsa yang besar karena jumlah penduduknya, tapi karena amanah sejarahnya — amanah yang kini mulai ditagih di panggung internasional.

Dengan IKN Nusantara, Islam Nusantara, Santri Nusantara, masuk FATF, lahirnya Danantara, serta berbagai reposisi aset negara, tampak bahwa Nusantara kini bergerak dari sekadar kata menjadi kekuatan nyata dalam percaturan global.

Kebetulan atau Naskah Tersembunyi?

Sulit untuk percaya semua ini hanya kebetulan. Terlalu banyak tanda, terlalu sesuai alur. Jokowi menjadi presiden, Prabowo menyusul di usia tua, Megawati terpinggirkan dalam dinamika politik — semua seolah sesuai isyarat yang dulu disampaikan Gus Dur. Atau mungkin, Gus Dur hanyalah pembisik skenario yang lebih besar: skenario para pemegang amanah bangsa, mereka yang tahu isi perjanjian tua Nusantara.

Sejarah memang belum selesai menulis dirinya sendiri. Dan hingga saat itu tiba, kita hanya bisa membaca tanda-tanda, merenung, dan bersiap menghadapi bab berikutnya.

📌 Catatan

Referensi

[^1]: NU Online, Cerita di Balik Pertemuan Jokowi dan Gus Dur 2006 Silam, NU Online
[^2]: Okezone, Saat Gus Dur Sebut Jokowi Layak Jadi Presiden pada Tahun 2006, Okezone
[^3]: Detik, Prabowo Cerita Awal Terjun ke Politik, Ungkit Nasihat Gus Dur, Detik
[^4]: Kompas, Prabowo: Saya Jenderal yang Bisa Masuk Kamar Gus Dur, Kompas
[^5]: Detik, Cerita Kedekatan Prabowo, Keluarga Gus Dur, dan Ramalan Jadi Presiden di Masa Tua, Detik
[^6]: Republika, Wasiat Gus Dur: Prabowo Paling Ikhlas kepada Rakyat, Republika
[^7]: Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography, Equinox, 2002
[^8]: SantriNews, Gus Dur dan Gelandangan Politik, SantriNews

  • Penulis: Ival

Rekomendasi Untuk Anda

  • Bank Centris Bukan Obligor, Tapi Kreditor

    Bank Centris Bukan Obligor, Tapi Kreditor

    • calendar_month Jum, 27 Jun 2025
    • account_circle TCON
    • visibility 83
    • 0Komentar

    Jakarta — Andri Tedjadharma, salah satu pemegang saham Bank Centris Internasional, kembali menegaskan tuntutannya terhadap Bank Indonesia (BI) terkait penyelesaian kasus Bank Centris. Menurut Andri, BI telah gagal melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian hukum Akte No. 46, sehingga seluruh aset bank, jaminan, serta promes nasabah wajib dikembalikan. “Bahkan harus kembalikan semua aset bank dan […]

  • Andri Adukan Kasusnya ke Ombudsman RI

    Andri Adukan Kasusnya ke Ombudsman RI

    • calendar_month Kam, 8 Mei 2025
    • account_circle TCON
    • visibility 382
    • 0Komentar

    Jakarta, 8 Mei 2025 – Langkah demi langkah dalam koridor Konstitusional  terus ditempuh Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional, untuk membongkar dugaan penyimpangan dalam penanganan kasusnya. Sore tadi (8/5), Andri bersama kuasa hukumnya, Japaris Sihombing SH, secara resmi mengadukan kasus tersebut ke Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman merespons laporan itu secara positif. Lembaga pengawas pelayanan […]

  • “Bukan Bela Rakyat, DPR Malah Menolak Gugatan: Pengkhianatan Konstitusional di Sidang MK”

    “Bukan Bela Rakyat, DPR Malah Menolak Gugatan: Pengkhianatan Konstitusional di Sidang MK”

    • calendar_month Kam, 19 Jun 2025
    • account_circle TCON
    • visibility 86
    • 0Komentar

      Dalam sidang uji materi Perpu No. 49 Tahun 1960 tentang PUPN, yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/6) kemarin, Hinca Panjaitan justru meminta hakim MK untuk menolak permohonan pemohon—yang sejatinya adalah warga negara biasa (rakyat) yang sedang memperjuangkan haknya di hadapan konstitusi. Sikap itu menimbulkan pertanyaan fundamental: mewakili siapa sebenarnya Hinca berbicara? Bila ia […]

  • Menggugah Presiden Prabowo, Menkeu Purbaya dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco

    Menggugah Presiden Prabowo, Menkeu Purbaya dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco

    • calendar_month Sen, 17 Nov 2025
    • account_circle TCON
    • visibility 113
    • 0Komentar

    Undang-undang Dasar 1945, secara tersurat menegaskan, bahwa negara wajib melindungi seluruh rakyatnya. Bukan sebaliknya melukai dan menzalimi. Tapi itulah yang hari ini sedang terjadi dalam kasus Andri Tedjadharma dan Bank Centris Internasional—sebuah luka hukum yang sudah terlalu lama dibiarkan bernanah oleh BI, Kemenkeu, PUPN, dan KPKLN. Faktanya sederhana dan telanjang: Bank Indonesia tidak memenuhi kewajibannya […]

  • Danantara dan Bank Emas: Mimpi Kebangkitan Nusantara di Era Jokowi-Prabowo

    Danantara dan Bank Emas: Mimpi Kebangkitan Nusantara di Era Jokowi-Prabowo

    • calendar_month Sel, 1 Jul 2025
    • account_circle Ival
    • visibility 111
    • 0Komentar

    Sudah terlalu lama bangsa ini berjalan di jalur ekonomi yang dirancang bukan untuk kepentingan rakyatnya, tetapi untuk kepentingan segelintir elite—baik di dalam maupun luar negeri. Sistem keuangan dan perbankan yang kita jalani hari ini sebagian besar dibangun di atas utang, bunga, dan permainan angka. Padahal, semua kita tahu: sistem ini sering kali menjauhkan bangsa dari […]

  • Anggota DPR RI Fraksi PAN Dukung Komdigi Tegakkan Kedaulatan Digital, Ajak Platform Seperti ChatGPT Ikuti Aturan Indonesia

    Anggota DPR RI Fraksi PAN Dukung Komdigi Tegakkan Kedaulatan Digital, Ajak Platform Seperti ChatGPT Ikuti Aturan Indonesia

    • calendar_month Kam, 20 Nov 2025
    • account_circle TCON
    • visibility 11
    • 0Komentar

    Anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Okta Kumala Dewi, menyatakan dukungan terhadap langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang menegur akses bagi sejumlah platform digital asing yang belum mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat di Indonesia, termasuk platform kecerdasan buatan seperti ChatGPT. Menurutnya, penegakan aturan ini merupakan bagian dari upaya […]

expand_less